Masyarakat jawa menurut Clifford Gerts dikategarosasikan ke
dalam tiga golongan, yakni santri, abangan, dan priyayi. Kelompok santri
digunakan untuk mengacu pada orang muslim yang mengamalkan ajaran agama sesuai
dengan syariat islam. Kelompok abangan merupakan golongan penduduk jawa muslim
yang memprtikkan islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan
dengan kelompok santri yang ortodoks dan cenderung mengikuti kepercayaan adat
yang didalamnya mengandung unsur tradisi Hindu, Budha, dan Animisme. Sedangkan
kelompok priyayi digunakan sebagai istilah orang yang memiliki tingkat sosial
yang lebih tinggi atau sering disebut kaum bangsawan. Namun penggolongan ketiga
kategorisasi ini tidaklah terlalu tepat, karena pengelompokkan priyayi – non
priyayi adalah berdasarkan garis keturunan seseorang, sedangkan pengelompokkan
santri – abangan dibuat berdasarkan sikap dan perilaku seseorang dalam
mengamalkan agamanya (Islam). Dalam realita, ada priyayi yang santri dan ada
pula yang abangan, bahkan ada pula yang non muslim.
1. Varian Abangan
Varian abangan
secara luas dan umum diasosiasikan dengan desa atau kaum tani. Tradisi agama
abangan, pada intinya terdiri dari pesta ritual yang dinamakan slametan, yaitu
satu kompleks kepercayaan yang luas dan rumit tentang roh-roh, dan seperangkat
teori dan praktek penyembuhan, ilmu tenung dan ilmu ghaib. Meskipun ia juga
mengasosiasikan varian abangan ini kepada proletariat kota, yakni kelas-kelas
rendahan di daerah perkotaan. Satu ciri orang abangan adalah sikap masa bodoh
terhadap ajaran dan hanya terpesona oleh perincian-perincian upacara.
Dalam varian ini
slametan, atau kadang disebut juga kenduren, merupakan upacara keagamaan yang
paling umum. Slametan ini terbagi kepada empat jenis: (1) yang berkisar sekitar
krisis-krisis kehidupan –kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian: (2)
yang ada hubungannya dengan hari-hari raya Islam –maulud Nabi, Idul Fitri, Idul
Adha dan sebagainya; (3) yang ada sangkutannya dengan integrasi sosial desa, bersih
desa (pembersihan desar dari roh-roh jahat) dan (4) slametan sela yang
diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap, tergantung kepada kejadian luar
biasa yang dialami seseorang – keberangkatan untuk suatu perjalanan jauh,
pindah tempat, ganti nama, sakit, terkena tenung dan sebagainya. Dalam slametan
senantiasa ada hidangan khas (yang berbeda-beda menurut maksud slametan itu),
dupa, pembacaan do’a Islam dan pidato tuan rumah yang disampaikan dalam bahasa
Jawa tinggi yang sangat resmi. Faktor yang mendasari penentuan waktu slametan
adalah petungan (hitungan) atau sistem numerologi orang Jawa. Sistem yang cukup
berbelit-belit ini terletak konsep metafisis orang Jawa yang fundamental, :
cocog (sesuai/cocok).
Tujuan
diselenggarakan slametan bagi orang-orang abangan adalah untuk menjaga diri
dari roh-roh halus agar tidak diganggu. Bagi orang jawa kepercayaan makhluk
halus merupakan bagian dari kehidupan, bahkan dalam slametan makhluk halus itu
juga ikut berkumpul dan makan bersama, namun makanan mereka adalah dupa yang
disediakan dalam slametan. Bila ditelusuri banyak jenis makhluk halus yang
dikenal di Jawa diantaranya adalah memedi yaitu roh yang mengganggu orang atau
menakut-nakuti mereka, tetapi biasanya tidak sampai merusak, (genderuwo memedi
laki-laki dan wewe memedi perempuan). Lelembut adalah roh yang dapat
menyebabkan seseorang jatuh sakit, gila, kesurupan, kampir-kampiran (kemasukan
roh yang berasal dari tempat tertentu), setanan (bertingkah aneh), kemomongan
(kerasukan dengan sukarela untuk punya kekuatan tertentu). Tuyul (anak-anak
makhlus halus) bisa menolong orang yang memilikinya untuk menjadi kaya. Selain
itu juga dikenal demit (makhluk halus yang menghuni suatu tempat). Danyang (roh
pelindung). Demikian makhluk-makhuk halusitu bisa ditundukkan dengan mengadakan
slametan.
Selain slametan
dan kepercayaan kepada makhluk halus orang abangan juga mengakui adanya
pengobatan, sihir dan magi yang berpusat di sektar peranan seorang dukun
(sekalipun dukun juga diakui digolongan santri dan priyayi tapi tidak sebesar
di golongan abangan. Dukun memiliki beberapa macam: dukun bayi, dukun pijet,
dukun prewangan (medium), dukun calak (tukang sunat), dukun wiwit (ahli upacara
panen), dukun temanten (ahli upacara perkawinan), dukun petungan (ahli meramal
dengan angka), dukun sihir, dukun susuk (spesialis mengobati dengan memasukkan
jarum emas di bawah kulit), dukun jampi, dukun siwer (spesialis mencegah
kesialan alami, seperti hujan), dukun tiban (tabih dengan kekuatan hasil dari
kerusakan roh).
Varian abangan
menurut pengertian orang Jawa mengacu kepada satu kategori sosial yang empiris
–mereka yang tidak melibatkan diri secara aktif dalam agama Islam- sekalipun
menurut Greetz sendiri ini menyesatkan karena tradisi abangan adalah identik
dengan tradisi rakyat (folk tradition).
2. Varian Santri
Santri
diidentifikasi dalam pelaksanaan yang cermat dan teratur ritual-ritual pokok
agama Islam, seperti shalat lima kali sehari, shalat jum’at, berpuasa selam
Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji, juga dimanifestasikan dalam kompleks
organisasi-organisasi sosial, amal dan politik seperti Muhammadiyah, Masyumi
dan Nahdhatul Ulama. Nilai-nilai bersifat antibirokratik, bebas dan egaliter.
Varian santri diasosiasikan dengan pasar. Ini mengandung arti adanya analogi
varian agama santri di Jawa dan semangat Protestanisme di Eropa menurut Max
Weber. Analogi in seperti yang dirumuskan Greetz berikut ini:
Meskipun secara
luas dan umum subvarian santri diasosiasikan dengan unsur pedagang Jawa, ia
tidak terbatas kepadanya, demikian pula tidak semua pedagang merupakan
penganutnya. Di desa-desa terdapat unsur santri yang kuat, yang seringkali
dipimpin oleh petani-petani kaya yang telah naik haji ke Mekkah dan setelah
kembali mendirikan pesantren-pesantren. Di kota, kebanyakan santri adalah
pedagang dan tukang, terutama tukang jahit (Greetz, 1973:5)
Sekalipun
pembahasan tentang varian santri lebih mudah dari varian abangan, ternyata
Greetz juga kesulitan untuk mengidentifikasi santri dengan tepat. Para guru
agama, para kyai, dan murid-murid mereka –yang merupakan santri sebenarnya-
yang biasanya dianggap sebagai inti golongan santri, dikesampingkan demi kaum
pedagang, yang apabila mereka santri, tergantung kepada guru-guru agama itu.
Tapi sekalipun
demikian diterangkan pula pola pendidikan santri berupa pondok atau pesantren.
Dalam sebuah pondok terdapat seorang guru pemimpin, umumnya seorang haji, yang
disebut kyai, dan sekelompok murid yang disebut santri. Bangunan pokok, hampir
semuanya terletak di luar kota, biasanya terdiri dari sebuah mesjid, rumah kyai
dan sederetan asrama untuk santri. Sistem pondok in menurut Greetz berbeda
dengan sistem biara yang ada dalam kristen katolik.
Di berbagai
pondok juga terdapat sistem mistik rahasia yang dibumbui dengan ujian kekuatan,
kekebalan kulit dan puasa yang berkepanjangan atau juga persaudaraan orang tua
yang berkerumun di sekitar kyai yang ahli dalam ilmu itu dan mereka melakukan
beberapa ritual pembacaan kalimat tertentu beberapa ribu kali dalam sehari.
Mistik ini disebut dengan tarekat, yang di Jawa timur didominasi oleh Qadariyah
dan Naqsabandiyah.
Selain pondok,
sistem pendidikan varian santri juga dikenal madrasah. Madrasah seperti
sekolah, memiliki tingkatan kelas, teratur jadwalnya dan menekankan isi, ini
berbeda dengan pondok.
Di varian santri
selain organisasi keagamaan seperti yang disebutkan di atas juga terdapat
lembaga keagamaan resmi pemerintah (departemen agama) yang mengurus pelaksanaan
hukum Islam mulai dari perkawinan dan perceraian, pelaksanaan haji, dakwah
keagamaan dan juga masalah partai politik.
3. Varian Priyayi
Priyayi adalah
kaum elit yang sah memanifestasikan satu tradisi agama yang khas yang disebut
sebagai varian agama priyayi dari sistem keagamaan pada umumnya di Jawa.
Priyayi tadinya hanya mengacu kepada golongan bangsawan yang turun-temurun,
yang oleh Belanda dilepaskan dari ikatan mereka dengan raja-raja kerajaan yang
telah ditaklukkan dan kemudian menjadi pegawai negeri yang diangkat dan digaji.
Elti pegawai ini terus mempertahankan dan memelihara tata krama keraton yang
sangat halus, kesenian yang sangat kompleks serta mistik Hindu-Budha.
Mereka tidak
menekankan unsur animisme dalam sinkretisme Jawa secara keseluruhan sebagaimana
dilakukan oleh kaum abangan, tidak pula menekankan unsur islam sebagaimana dilakukan
oleh kaum santri, melainkan yang mereka tekankan adalah unsur Hinduismenya..
(Greetz, 1973:6)
Namun priyayi
dibedakan dari rakyat biasa karena memiliki gelar kehormatan yang terdiri dari
pelbagai tingkat menurut hirarki hak dan kewajiban. Gelar-gelar itu berfungsi
sebagai identifikasi. Gelar-gelar itu diberikan secara turun-temurun, anak
seorang yang bergelar berhak mendapat gelar kehormatan satu tingkat lebih
rendah dari sang ayah. Diantara gelar-gelar itu untuk pria adalah : Raden,
Raden Mas, Raden Panji, Raden Temenggung, Raden Ngabehi, Raden Mas Panji, dan
Raden Mas Aria. Sedangkan untuk wanita adalah Raden Roro, Raden Ajeng dan Raden
Ayu. Kelas priyayi merupakan kelas yagn jelas batas-batasnya.
Tradisi lain yang
ada dalam varian priyayi selain mistik, dan kesadaran akan pangkat adalah
perbedaan antara lahir dan batin antara alus dan kasar. Peraturan etiket,
gerak, sikap dan ucapan serta kesenian harus alus disamping penguasaan diri
sendiri. Diantara kesenian alus adalah wayang, gamelan, joged, tembang, dan
batik. Berbeda dengan kesenian yang kasar, seperti ludrug, kledek, jaranan dan
dongeng.
Secara
tradisional seorang priyayi dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang
kesusasteraan dan filsafat priyayi yang tradisional terdiri dari tulisan-tulisan
Jawa kuno dan modern serta epik-epik Hindu yang terkenal. Oleh karenanya kaum
priyayi cenderung untuk mengungkapkan kepercayaan agama mereka dengan
istilah-istilah Hindu.
Demikianlah tiga
varian agama yang ada di Mojokuto. Tiga kelompok ini sering mengalami
antagonisme. Ketegangan terbesar adalah antara kaum santri dan dua kelompok
lainnya, selain juga ada ketegangan antara priyayi dan abangan. Ketegangan in
terjadi dalam hal konflik ideologi. Kelompok abangan dan priyayi menuduh
kelompok santri sebagai orang munafik yang sok suci, dan kelompok santri
menuduh kelompok priyayi sebagai penyembah berhala. Ada juga ketegangan karena
konflik kelas, ketegangan priyayi-abangan terlihat jelas dalam hubungannya
dengan persoalan status. Priyayi sering menuduh orang desa tak tahu tempat yang
layak dan karenanya mengganggu keseimbangan organis masyarakat. Dan ketegangan
juga diakibatkan karena konflik politik. Intensifnya perjuangan kekuasaan
politik merupakan pemecah ketiga yang mempertajam konflik keagamaan. Biasanya
berupa konflik antar partai politik.
Namun, selain
kekuatan yang memecah belah, ada juga unsur-unsur yang mempersatukan masyarakat
Jawa yaitu rasa satu kebudayaan, perasaan bahwa masa sekarang merosot dilihat
dari masa lalu. Selain juga adanya kekuatan nasionalisme yagn makin tumbuh yang
mencoba menghimbau sentimen harga diri bangsa, solidaritas dna harapan kepada
gaya hidup yang lebih “modern”.
inimah bukan sekilas kaka, sebanyak... he he...
BalasHapus< VB > ISO 9001:2015 < VB >
Lucky Club Casino Site - Casino website
BalasHapusLucky Club Casino. Established in 1993. The most popular of our casino is luckyclub in our online casino. You will find over 200 games to enjoy, Rating: 5 · 100 votes