KONTRIBUSI SOSIOLOGI DALAM PENDIDIKAN
A. Kontribusi
Sosiologi Terhadap Sistem Sekolah Sebagai Suatu Organisasi
Seiring dengan bergulirnya roda sejarah kehidupan, maka
prestasi pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh manusia menjadi sedemikian
kompleks, sehingga pada fase inilah konsep pengetahuan dan kemampuan-kemampuan
gemilangnya telah menjadi penentu kehidupan di masa yang akan datang. Beberapa
faktor telah melatarbelakangi terbentuknya lembaga-lembaga tertentu untuk
mengelola alokasi pemenuhan kebutuhan diantaranya:
1) Pertumbuhan
jumlah populasi manusia yang mempengaruhi tingkat penguasaan dan ketersediaan
sumber daya alam.
2) Kompleksnya
pranata kebudayaan dan mekanisme pengetahuan beserta teknologi terapan, dan
3) Implikasi tingkat
akal budi dan mentalitas manusia yang kian rasional.
Menurut kami, terbentuknya lembaga pendidikan merupakan
konsekuensi logis dari taraf perkembangan masyarakat yang sudah kompleks.
Sehingga untuk mengorganissasikan perangkat-perangkat pengetahuan dan
keterampilan tidak memungkinkan ditangani secara langsung oleh masing-masing
keluarga.
Walaupun wujudnya berbeda-beda dalam tiap-tiap negara,
keberadaan sekolaah merupakan salah satu indikasi terwujudnya masyarakat modern.
Dalam hal ini para sosiolog telah melakukan ikhtiar ilmiah untuk menentukan
taraf evolusi perkembangan masyarakat manusia.
Dimulai dari August Comte (1798-1857) dengan karyanya yang
berjudul “Course de philosophie Positive” (1844). Beliau menekankan hukum
perkembangan masyarakat yang terdiri tiga jenjang, yaitu jenjang toelogi dimana
manusia mencoba menjelaskan gejala disekitarnya dengan mengacu pada hal yang
bersifat adikodrati, jenjang metafisis dimana menusia mencoba menjelaskan
gejala yang ada disekitarnya sedikit
mengurangi yang mengacu pada hal yang bersifat adikodrati, jenjang positifisme
dimana menusia mencoba menjelaskan gejala disekitarnya dengan mengacu pada hal
yang bersifat logika atau realita.
Taraf perkembangan selanjutnya disusul pencapaian
manifestasi kemampuan manusia untuk menangkap fenomena lingkungan dengan
menyandarkan pada kekuatan-kekuatan metafisik atau abstrak. Hingga pada level
tertinggi, taraf positif. Iklim kehidupan demikian ditandai dengan prestasi
kemampuan manusia untuk menjelaskan gejala alam maupun sosial berdasar pada
deskripsi ilmiah melalui pemahaman kekuasaan hukum objektif (Sunarto, 2000: 3).
Dari pengertian tersebut perwujudan manusia positivis hanya mampu ditopang oleh
orientasi pendidikan yang sudah terlembaga secara mantap melalui aplikasi
fungsi sekolah-sekolah modern[1].
Di lain pihak, tak kalah pentingnya buah pikiran Emile
Durkheim (1858-1912) berupa buku yang berjudul The Division of Labour in
Society (1968) juga menganalisis kecenderungan masyarakat maju yang di dalamnya
terdapat pembagian kerja dalam pemetaan bidang-bidang ekonomi, hukum, politik,
pendidikan, kesenian dan bahkan keluarga.
Gejala tersebut merupakan dampak dari penerapan sistem
ekonomi industri yang di dalamnya memerlukan memerlukan spesialisasi peran
untuk mengusung keberhasilan dalam memenuhi kebutuhan hidup para anggotanya
(Johson, 1986: 181-184).
Sekali lagi ilustrasi di atas hanya dapat tercermin pada
konteks organisasi lembaga pendidikan yang telah mampu memproduk manusia
profesional dengan spesifikasi keahlian. Sedangkan untuk mewujudkan figur-figur
manusia itu hanya mampu dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan modern.
Dari kedua pernyataan ilmiah para tokoh sosiologi di atas
dapat kami tarik kesimpulannya bahwa keberadaan sekolah yang mewarnai dunia
kehidupan manusia saat ini merupakan sebuah keniscayaan peradaban modern yang
lekat dengan renik-renik pergulatan ilmu pengetahuan dan aplikasi teknologi
mutakhir. Sementara melihat konteks sosial yang terbentuk dapat dijawab pula sekolah
juga masuk dalam kategori–kategori organisasi pada umumnya yang mengemban
konsekuensi-konsekuensi organisasi.
Oleh karena itu keberadaan sekolah patut dimasukkan sebagai
salah satu organisasi yang memanfaatkan mekanisme birokratis dalam mengelola
kerja-kerja institusinya. Beberapa prisnsip penerapan birokrasi juga terdapat
dalam lembaga sekolah antara lain:
a) Aturan dan prosedur yang ketat melalui birokrasi
b) Memiliki hierarki jabatan dengan struktur pimpinan yang
mempunyai hak dan kewajiban
c) Pelaksanaan administrasi secara profesional
d) Mekanisme perekrutan staf dan pembinaan secara
bertanggung jawab
e) Struktur karier yang dapat diidentifikasikan, dan
f) Pengembangan hubungan yang bersifat formal dan
impersonal. (Robinson, 1981:241)
Masih dalam lingkup sekolah sebagai organisasi formal,
beberapa ahli telah menyajikan pranata-pranata manajemen yang berbeda-beda
dalam menerapkan fungsi manajemen di sekolah (Robinson, 1981). Di antaranya
adalah sebagai berikut:
(1) Manajemen
Ilmiah
Pokok-pokok dari manajemen ilmiah antara lain:
· Menggunakan alat ukur dan perbandingan yang jelas dan
tepat;
· Menganalisis dan membandingkan proses-proses yang telah
dicapai, dan
· Menerima hipotesis terkuat yang lulus dari verivikasi serta
menggunakannya sebagai kriteria
tunggal.
Ilmplikasinya jelas, penerapan kriteria tunggal bagi sekolah
demi mencapai maksimalisasi hasil-hasil belajar secara efisien dan efektif.
Tampak jelas jenis manajemen ini berkarakter mekanistis, ketat, mengutamakan
hasil kuantitatif, serta cenderung mengesampingkan unsur-unsur manusiawi di
dalam prosesnya.
(2) Sistem Sisio-teknis
Sebagai sistem sosio-teknis, sekolah mencakup banyak hal
yang menjadi input organisasi, namun stafnya akan mengetahui sifat input-inputnya.
Dengan begitu sekolah dapat menentukan instrumen-instrumen pengelolaan demi
menjamin hasil yang optimal. Sampai disini definisi sosio-teknis memberikan
titik tekan pada pengamatan dan pengelompokan jenis-jenis masukan dalam sekolah
lalu ditindaklanjuti dengan cara yang relevan dengan “bahan mentah” tersebut.
Manajemen sosio-teknis masih menggunakan prinsip manajemen formal, sehingga
beberapa unsur yang melekat pada prinsip manajemen ilmiah juga dimiliki oleh
sistem sosio-teknis.
(3) Pendekatan Sistematik
Model pengelolaan yang paling banyak digunakan adalah bentuk
teori sistem. Ciri khas pendekatan ini adalah pengakuan adanya bagian-bagian
suatu sistem yang terkait erat pada keseluruhan. Hubungan timbal balik itu
mengisyaratkan detail bagian yang cukup kompleks dan proses interaksi secara
keseluruhan dalam sebuah organisasi. Implikasi lain, batas-batas antar bagian
harus diketahui dengan tegas dalam mengidentifikasi komponen-komponen lembaga
sekolah. Secara internal model teori sistem, mengadopsi penanganan lembaga
formal pada umumnya untuk menggerakan roda organisasi. Akan tetapi pendekatan
ini juga memperhatikan sistem sosial yang bekerja di luar sekolah. Tiap sekolah
berusaha pula menampung tuntutan-tuntutan dari para orang tua siswa, industri
setempat, pendapat profesional dan kebijakan pendidikan.
(4) Pendekatan Individu
Baik pendekatan manajemen maupun pendekatan sistem cenderung
“membendakan” organisasi. Organisasi dipandang seakan-akan seperti makhluk
besar yang mengatasi dan mengecilkan peran anggota-anggotanya (terutama para
murid). Sebagai antitesisnya, maka pendekatan individual mengakomodasi
nilai-nilai kemanusiaan dalam organisasi[2]. Akan tetapi pada perkembangannya
pendekatan individual memiliki dua kelompok pandangan yakni:
a) Teori Pasif
Pandangan yang menekankan pengamatan input pendidikan secara
kolektif. Dimana sudut terpenting yang harus diperhatikan oleh sekolah adalah
proses kematangan pribadi para siswa yang harus difasilitasi, diakomodasi
kebutuhannya dan dibimbing menuju kedewasaan. Oleh karena itu, proporsi
organisasi sekolah yang cenderung mekanistis harus dipola menjadi fleksibel
agar mudah para anggotanya bisa berekspresi dengan optimal (Robinson, 1981:
252)
b) Teori Aktif
Kontruksi pendekatan yang mengutamakana kemampuan aktif para
siswa untuk menginterpretasikan makna-makna normatif dan tindakan-tindakan yang
diharapkan berdasarkan iklim kesadaran mereka. Menurut Silverman (1970) proses
sosialisasi disekolah bukanlah imperatif-imperatif moral yang memaksa akan tetapi
justru sekolah menjadi pembantu para siswa dalam mendukumentasikan dan
menetapkan makna-makna kehidupan yang didapat oleh mereka sendiri. Penedakatan
ini sangat kental dengan aliran feomenologis dalam sosiologi. Oleh karena itu
teori aktif bermaksud menekankan makna-makna tafsiran budaya yang didapat oleh
individu-individu di dalam mempersepsikan fungsi sekolah bagi mereka bagi
mereka (Robinson, 1981:254). Dari sini analisis yang bisa disajikan untuk
mengamati keberadaan sekolah sebagai lembaga formal dalam aktivitas
pendidikannya terbagi menjadi dua lahan persoalan yakni:
· Penafsiran
multi-konsep tentang tujuan organisasi beserta alokasi peran yang sinergis.
Sudah menjadi konsekuensi bagi setiap organisasi untuk
menetapkan tujuan lembaga. Berbeda dengan organisasi pada umumnya, sekolah
memiliki ciri khas yang agak unik, khususnya dari objek yang menjadi tujuannya.
Dengan menetapkan posisi peran kelembagaan yang bertugas untuk membekali
peserta didik seperangkat pengetahuan dan keterampilan maka sekolah telah
mengumandangkan jenis tujuan yang bersifat abstrak. Hal ini tentu saja berbeda
dengan lembaga lain yang jelas-jelas memiliki objek tujuan konkrit. Contohnya
lembaga perusahaan, tentunya bagi siapa saja akan jelas memahami arti “mencari
keuntungan maksimal” bagi perusahaan. Baik itu manajer pemasaran, direktur
pabrik, buruh angkutan, sopir, sampai tenaga administrasi akan jelas
mengartikan definisi tujuan tersebut. Sementara sekolah memiliki tujuan yang
bersifat multi-penafsiran dan agak kabur.
Selain itu, dimensi abstrak yang menjadi titik tolak
penafsiran para praktisi sekolah dapat memunculkan hambatan besar untuk
menyatukan pemahaman makna tujuan pendidikan antar posisi. Berdasarkan struktur
organisasi yang terbentuk, guru bertugas sebagai pelaksana pengajaran kepada
siswa, supervisor berfungsi membina para guru dan tugas formal administratur
sekolah ialah untuk mengkoordinasikan dan memadukan berbagai ragam aktivitas
dalam lingkungan sekolah. Masing-masing pemegang posisi mempunyai hak dan
kewajiban tertentu dalam hubungan dengan posisi lain. Sudah tentu kompleksitas
peranan menimbulkan nilai sosial yang berbeda-beda dan apabila ditarik dalam
suatu prospek tujuan maka akan melibatkan bermacam-macam penafsiran.
· Kompleks
permasalahan disekitar orientasi lintas posisi dalam koridor efesiensi dan
efektivitas.
Kompleks pertentangan tersebut merupakan deriviasi dari
perangkat-perangkat manusia yang emiliki peran-peran spesifik di lembaga
sekolah. Banyak buku teks yang mengemukakan tentang peranan guru dan
adminsitratur pendidikan seolah-olah harmonis dan serba sinergis. Padahal
kenyataan membuktikan, salah satu faktor yang memberatkan kerja organisasi
adalah gejala kesalahpahaman untuk memahami kawan sekerja berkenaan dengan hak
dan kewajiban yang berbeda sesuai dengan status pekerjaannya. Kecenderungan
yang terjadi, hampir semua tanggung jawab dan tugas sekolah yang berhubungan
dengan siswa selalu dilimpahkan kepada seorang guru. Sedangkan pemberitaan
fungsi-fungsi peran yang berbeda baik dari aspek bimbingan konseling, pelayanan
birokrasi dan keuangan, serta peran penegak ketertiban dan kedisplinan tidak
pernah tersiar secara utuh kepada para siswa. Tentu saja dalam hal ini
sumbangsih teori sosiologi cukup strategis guna memberikan gambaran
komprehensif tentang gurita konflik yang terbentuk di lingkungan sekolah dalam
kaitan pertentangan antar peran.
B. Kontribusi
Sosiologi Terhadap Kegiatan Kelas sebagai Suatu Sistem Sosial
Suatu analisis tentang struktur kompetisi beserta pengaruhnya
terhadap prestasi belajar di sekolah menengah, secara nyata mempunyai implikasi
untuk mengisolasikan kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi hasil belajar suatu
kelas.
Gordon dan Bpookovor ahli dari Amerika menyarankan
pentingnya tinjauan sosiologi di dalam mengkaji struktur dan fungsi ruangan
kelas sebagai suau sistem sosial. Dewasa ini penelaahan sosiologis dan
sosio-psikologis mengenai ruangan kelas sebagai suatu sistem, sudah tak
diragukan lagi nilai guna dan kontribusinya. Kontribusi empiris utama dari para
sosiolog selama ini, yaitu di dalam menelaah struktur sosiometrik di kelas, dan
memilihkan sumber-sumber tekanan dan ketegangan yang dihadapi guru-guru di
kelas. Telaah sosiometrik mengungkapkan bahwa ruangan kelas, di dalamnya
terdapat anak-anak “idiola” dan “penyendiri”, mengenai para guru, hasil
penelitian menunjukkan, bahwa kerapkali para guru tidak mengetahui
hubungan-hubungan antar pribadi di kalangan murid-muridnya di kelas.
Mereka tidak menunjukkan kepekaan yang tinggi mengenai
bagaimana sesungguhnya para muridnya mereaksi satu sama lain, mereka sering
kali membiarkan bias pribadinya dalam menghadapi para siswanya ketimbang
menggunakan asesmen yang tepat melalui sosiometri.
Hal lain yang menyebabkan ketegangan kejiwaan para guru
pengajar di kelas salah satunya karena benturan antara struktur otoritas
sekolah dengan status profesional guru-guru itu sendiri. Kepala sekolah sebagai
pemegang otoritas di sekolah sudah tentu perlu mengawasi, mengkoordinasikan,
dan memadukan semua kegiatan yang berlangsung di sekolah, termasuk juga
terhadap sajian pelajaran yang diberikan guru (sesuai dengan kurikulum dan
batasan bahan untuk satu semester/tahun). Untuk itu para guru harus bekerja
dengan bertanggung jawab (sebagai hamba kurikulum) dan jika tidak maka kepala
sekolah bisa menindak guru dengan memberikan sanksi. Hal seperti ini sebenarnya
bertentangan dengan tugas seorang guru sebagai tenaga profesional yang memiliki
otonomi untuk mengembangakan aktivitasnya dalam proses pembelajaran di dalam
kelas.
Otoritas kepala sekolah menimbulkan kekecewaan bagi guru dan
bisa mengacaukan pengajaran dikelas. Sehingga menimbulkan adanya jarak sosial
antara guru dan kepala sekolah. Penyebab ketegangan lainnya tumbuh dari
perbedaan norma antara yang dianut guru dengan norma yang dianut siswa dalam
hubungannya dengan perilaku siswa. Para guru mengharapkan para murid
berprestasi sebaik mungkin sesuai potensinya. Sementara itu para siswa tak
seberapa konsentrasi dengan harapan gurunya[3]. Mereka lebih berorientasi pada
struktur informal dan nilai-nilai dikalangan mereka sendiri. Mereka memiliki
sifat asli yang dibawanya dari lingkungannya sendiri.
Hal ini mempunyai pengaruh besar terhadap penampilan mereka
di sekolah. Jika tiak ada kesesuaian dengan nilai-nilai yang diharapkan guru,
maka guru akan bisa tersiksa di dalam proses transaksi pengajarannya dengan
para siswa.
Kontribusi lainnya adalah mengenai perilaku siswa yang suka
menyendiri. Kekuatan kelompok teman sekelasnya mempunyai pengaruh besar
terhadap anak-anak yang terisolasi. Hambatan utama untuk menyembuhkan anak
penyendiri bukan terletak pada diri anak itu sendiri, tetapi terletak pada
konteks kelas itu sendiri. Selama ini para guru dan bimbingan konseling
berasumsi bahwa bimbingan individual adalah satu-satunya cara penyembuhan. Kita
harus menyadarkan para guru dan pembimbing bahwa melalui perubahan iklim
kelompok/kelas juga suatu alternatif lain yang tak kalah pentingnya dibanding
cara individual. Untuk itu dituntut untuk mengeksplorasi bagaimana adanya
kehidupan kelas sebagai suatu sistem sosial. Analisis sosiologi juga
mengungkapkan ada hubungan yang erat antara tingkah laku dan sikap seseorang
dengan latar belakang kelompok atau aspirasi yang digandrunginya. Anak-anak
sekolah pada umumnya cenderung untuk membentuk sebuah kelompok atau “GANK”.
Kelompok-kelompok tersebut merupakan tempat berlabuh yang harus diperhitungkan
dalam upaya pembinaan tingkah laku siswa. Konsekuensi pentingnya adalah agar
pengajar bisa efektif dalam mendidik siswanya maka perlu adanya usaha
membendung kekuatan-kekuatan kelompok yang bisa mengacaukan arah pembinaan anak
didiknya, dan berupaya mengubah nilai-nilai atau norma-norma kurang sehat di
kalangan klik-klik siswa itu sendiri.
C. Kontribusi
Sosiologi Terhadap Lingkungan Eksternal Sekolah
Sekolah sebagai suatu sistem tidak berdiri sendiri dalam
dunia hampa. Ia berada dan berfungsi, sebagiannya bergantung pada lingkungan
eksternalnya. Sudut pandang sosiologi seperti itu mempunyai banyak imlikasi
dalam analisis sitem persekolahan.
Kontribusi pertama ialah, dengan adanya perubahan-perubahan
demografis di dalam sistem sosial yang lebih besar (masyarakat), secara
materiil akan mempengaruhi komposisi kesiswaan pada suatu sistem sekolah dan
hal itu menyebabkan sering kali ada modifikasi kurikulum. Jumlah urbanisasi
yang besar menuntut mereka membutuhkan persekolahan. Fenomena di satu pihak
menyebabkan sekolah-sekolah di desa kekurangan murid dan sebaliknya sekolah di
kota tidak muat menampung banyaknya siswa yang mau masuk sekolah. Hal tersebut
mengungkapkan betapa pentingnya pendekatan tersendiri dalam perencanaan sekolah
baik di desa atau di kota yang jarang diperhatikan dunia pendidikan.
Kontribusi kedua adalah terkait struktur kelas sosial di
masyarakat. Dari hasil penelitian, menyatakan bahwa kebanyakan aspek-aspek
dalam penunaian fungsi persekolahan diengaruhi oleh fenomena kelas sosial.
Pelaksanaan penilaian beserta kriteria yang digunakan dalam eveluasi hasil
belajar siswa tampaknya ada hubungan dengn posisi kelas sosial siswa dan guru.
Selain itu mobilitas aspirasi parasiswa, angka putus sekolah, partisipasi siswa
dalam kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler, tingkah laku berpacaran siswa, dan
pola persahabatan dikalangan siswa, tampaknya jua dipengaruhi oleh karakter
sosial-ekonomi dari keluarga/orang tua siswa.
Kontribusi yang ketiga adalah stuktur kekuasaan di
masyarakat. Pengelolaan program pendidikan di sekolah-sekolah membutuhkan
topangan dana yang tidak sedikit, dan hal itu sedikit banyak mempengaruhi mutu
program dan hasil pendidikan. Seberapa banyak subsisi ke dunia pendidikan, baik
dari pemerintah lokal atau nasional, kenyataannya bergantung pada para
pengambil kebijakan dilingkungan struktur kekuasaan yang ada. Sehingga tidak
heran jika para administratur pendidikan juga menunjukan minatnya untuk
menelaah. Struktur kekuasaan yang berlangsung di masyarakat, dan untuk itu
lazimnya menyertakan ahli-ahli sosiologi.
Kontribusi keempat sosiologi terhadap lingkungan eksternal
sekolah adalah penelitian rantaian penghubung antara sekolah dengan masyarakat.
Keberadaan badan pertimbangan sekolah biasanya diasumsikan dengan tidak adanya
proporsional asal strata para anggota badan pertimbangan sekolah (strata atas
terhadap strata ekonomis) mengakibatkan adanya bias konservatif dalam pertimbangan-pertimbangannya.
Hasil penelitian menunjukkan pengaruh tingkah laku para anggota badan
pertimbangan dan memotivasinya untuk menduduki jabatan tersebut terhadap
penampilan dan kepuasan kerja para penilik kepala. Faktor lain seperti agama,
pekerjaan, dan penghasilan terhadap tingkah laku para anggota. Dari hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa serba sulit bagi perkembangan sekolah,
meskipun seringkali diabaikan, dengan adanya variabel tingkah laku kelompok
kecil orang-orang awam dalam badan pertimabangan sekolah. Hal ini menyebabkan
adanya upaya untuk meningkatkan mutu anggota badan pertimbangan sekolah.
Kontribusi yang kelima yaitu bertolak dari telaahan terhdap
konflik antara peranan dimana para tenaga kependidikan dihadapkan pada benturan
kepentingan dari posisi yang dipegangnya dalam sistem persekolahan dengan
posisinya di dalam sistem sosial lain. Hasil penemuan-penemuan diatas menyokong
suatu prosisi bahwa konflik antar peranan di antara posisi di sistem
persekolahan dengan lingkungan eksternal, merupakan sumber potensial utama
lahirnya ketegangan di kalangan praktisi pendidikan, termasuk juga bagi para
guru. Dengan tinjauan dan analisis sosiologis, para praktisi pendidikan bisa
secara lebih realistis dan peka mengkaji kekuatan-kekuatan majemuk yang ada dan
berlangsung dalam konteks penyelenggaraan pendidikan. Dengan sokongan
penglihatan dan konsep-konsep sosiologis para praktisi pendidikan bisa lebih
jeli memperhitungkan faktor-faktor organisasi, budaya, dan personal di
lingkungan kerjanya masing-masing.
[1] Robinson, Philip. 1981. Beberapa Perspektif Sosiologi
Pendidikan. Jakarta: CV. Rajawali.hal:18
[2] Faisal, Sanapiah. 1985. Sosiologi Pendidikan. Surabaya:
Usaha Nasional.hal:25
[3] Faisal, Sanapiah. 1985. Sosiologi Pendidikan. Surabaya:
Usaha Nasional.hal:30
Diposkan 27th March oleh ahmad muhajirin
Label: kontribusi sosiologi dalam pendidikan
KONTRIBUSI SOSIOLOGI DALAM PENDIDIKAN
Mar
27
kontribusi
sosiologi dalam pendidikan
KONTRIBUSI
SOSIOLOGI DALAM PENDIDIKAN
A. Kontribusi Sosiologi Terhadap Sistem
Sekolah Sebagai Suatu Organisasi
Seiring dengan
bergulirnya roda sejarah kehidupan, maka prestasi pengetahuan dan keterampilan
yang diperoleh manusia menjadi sedemikian kompleks, sehingga pada fase inilah
konsep pengetahuan dan kemampuan-kemampuan gemilangnya telah menjadi penentu
kehidupan di masa yang akan datang. Beberapa faktor telah melatarbelakangi
terbentuknya lembaga-lembaga tertentu untuk mengelola alokasi pemenuhan
kebutuhan diantaranya:
1) Pertumbuhan jumlah populasi manusia yang
mempengaruhi tingkat penguasaan dan ketersediaan sumber daya alam.
2) Kompleksnya pranata kebudayaan dan mekanisme
pengetahuan beserta teknologi terapan, dan
3) Implikasi tingkat akal budi dan mentalitas
manusia yang kian rasional.
Menurut kami,
terbentuknya lembaga pendidikan merupakan konsekuensi logis dari taraf
perkembangan masyarakat yang sudah kompleks. Sehingga untuk mengorganissasikan
perangkat-perangkat pengetahuan dan keterampilan tidak memungkinkan ditangani
secara langsung oleh masing-masing keluarga.
bacan berat ini mah... he he..
BalasHapusshankyu kaka artikelna...
< VB > ISO 9001:2015 < VB >