Sabtu, 21 Desember 2013

KONTRIBUSI SOSIOLOGI DALAM PENDIDIKAN





KONTRIBUSI SOSIOLOGI DALAM PENDIDIKAN

A.       Kontribusi Sosiologi Terhadap Sistem Sekolah Sebagai Suatu Organisasi

Seiring dengan bergulirnya roda sejarah kehidupan, maka prestasi pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh manusia menjadi sedemikian kompleks, sehingga pada fase inilah konsep pengetahuan dan kemampuan-kemampuan gemilangnya telah menjadi penentu kehidupan di masa yang akan datang. Beberapa faktor telah melatarbelakangi terbentuknya lembaga-lembaga tertentu untuk mengelola alokasi pemenuhan kebutuhan diantaranya:
1)   Pertumbuhan jumlah populasi manusia yang mempengaruhi tingkat penguasaan dan ketersediaan sumber daya alam.
2)   Kompleksnya pranata kebudayaan dan mekanisme pengetahuan beserta teknologi terapan, dan
3)   Implikasi tingkat akal budi dan mentalitas manusia yang kian rasional.

Menurut kami, terbentuknya lembaga pendidikan merupakan konsekuensi logis dari taraf perkembangan masyarakat yang sudah kompleks. Sehingga untuk mengorganissasikan perangkat-perangkat pengetahuan dan keterampilan tidak memungkinkan ditangani secara langsung oleh masing-masing keluarga.
Walaupun wujudnya berbeda-beda dalam tiap-tiap negara, keberadaan sekolaah merupakan salah satu indikasi terwujudnya masyarakat modern. Dalam hal ini para sosiolog telah melakukan ikhtiar ilmiah untuk menentukan taraf evolusi perkembangan masyarakat manusia.
Dimulai dari August Comte (1798-1857) dengan karyanya yang berjudul “Course de philosophie Positive” (1844). Beliau menekankan hukum perkembangan masyarakat yang terdiri tiga jenjang, yaitu jenjang toelogi dimana manusia mencoba menjelaskan gejala disekitarnya dengan mengacu pada hal yang bersifat adikodrati, jenjang metafisis dimana menusia mencoba menjelaskan gejala yang ada disekitarnya  sedikit mengurangi yang mengacu pada hal yang bersifat adikodrati, jenjang positifisme dimana menusia mencoba menjelaskan gejala disekitarnya dengan mengacu pada hal yang bersifat logika atau realita.
Taraf perkembangan selanjutnya disusul pencapaian manifestasi kemampuan manusia untuk menangkap fenomena lingkungan dengan menyandarkan pada kekuatan-kekuatan metafisik atau abstrak. Hingga pada level tertinggi, taraf positif. Iklim kehidupan demikian ditandai dengan prestasi kemampuan manusia untuk menjelaskan gejala alam maupun sosial berdasar pada deskripsi ilmiah melalui pemahaman kekuasaan hukum objektif (Sunarto, 2000: 3). Dari pengertian tersebut perwujudan manusia positivis hanya mampu ditopang oleh orientasi pendidikan yang sudah terlembaga secara mantap melalui aplikasi fungsi sekolah-sekolah modern[1]. 
Di lain pihak, tak kalah pentingnya buah pikiran Emile Durkheim (1858-1912) berupa buku yang berjudul The Division of Labour in Society (1968) juga menganalisis kecenderungan masyarakat maju yang di dalamnya terdapat pembagian kerja dalam pemetaan bidang-bidang ekonomi, hukum, politik, pendidikan, kesenian dan bahkan keluarga.
Gejala tersebut merupakan dampak dari penerapan sistem ekonomi industri yang di dalamnya memerlukan memerlukan spesialisasi peran untuk mengusung keberhasilan dalam memenuhi kebutuhan hidup para anggotanya (Johson, 1986: 181-184).
Sekali lagi ilustrasi di atas hanya dapat tercermin pada konteks organisasi lembaga pendidikan yang telah mampu memproduk manusia profesional dengan spesifikasi keahlian. Sedangkan untuk mewujudkan figur-figur manusia itu hanya mampu dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan modern.
Dari kedua pernyataan ilmiah para tokoh sosiologi di atas dapat kami tarik kesimpulannya bahwa keberadaan sekolah yang mewarnai dunia kehidupan manusia saat ini merupakan sebuah keniscayaan peradaban modern yang lekat dengan renik-renik pergulatan ilmu pengetahuan dan aplikasi teknologi mutakhir. Sementara melihat konteks sosial yang terbentuk dapat dijawab pula sekolah juga masuk dalam kategori–kategori organisasi pada umumnya yang mengemban konsekuensi-konsekuensi organisasi.
Oleh karena itu keberadaan sekolah patut dimasukkan sebagai salah satu organisasi yang memanfaatkan mekanisme birokratis dalam mengelola kerja-kerja institusinya. Beberapa prisnsip penerapan birokrasi juga terdapat dalam lembaga sekolah antara lain:
a) Aturan dan prosedur yang ketat melalui birokrasi
b) Memiliki hierarki jabatan dengan struktur pimpinan yang mempunyai hak dan kewajiban
c) Pelaksanaan administrasi secara profesional
d) Mekanisme perekrutan staf dan pembinaan secara bertanggung jawab
e) Struktur karier yang dapat diidentifikasikan, dan
f) Pengembangan hubungan yang bersifat formal dan impersonal. (Robinson, 1981:241)
Masih dalam lingkup sekolah sebagai organisasi formal, beberapa ahli telah menyajikan pranata-pranata manajemen yang berbeda-beda dalam menerapkan fungsi manajemen di sekolah (Robinson, 1981). Di antaranya adalah sebagai berikut:

    (1) Manajemen Ilmiah
               Pokok-pokok dari manajemen ilmiah antara lain:
· Menggunakan alat ukur dan perbandingan yang jelas dan tepat;
· Menganalisis dan membandingkan proses-proses yang telah dicapai, dan
· Menerima hipotesis terkuat yang lulus dari verivikasi serta menggunakannya sebagai kriteria     tunggal.
Ilmplikasinya jelas, penerapan kriteria tunggal bagi sekolah demi mencapai maksimalisasi hasil-hasil belajar secara efisien dan efektif. Tampak jelas jenis manajemen ini berkarakter mekanistis, ketat, mengutamakan hasil kuantitatif, serta cenderung mengesampingkan unsur-unsur manusiawi di dalam prosesnya.

(2) Sistem Sisio-teknis
Sebagai sistem sosio-teknis, sekolah mencakup banyak hal yang menjadi input organisasi, namun stafnya akan mengetahui sifat input-inputnya. Dengan begitu sekolah dapat menentukan instrumen-instrumen pengelolaan demi menjamin hasil yang optimal. Sampai disini definisi sosio-teknis memberikan titik tekan pada pengamatan dan pengelompokan jenis-jenis masukan dalam sekolah lalu ditindaklanjuti dengan cara yang relevan dengan “bahan mentah” tersebut. Manajemen sosio-teknis masih menggunakan prinsip manajemen formal, sehingga beberapa unsur yang melekat pada prinsip manajemen ilmiah juga dimiliki oleh sistem sosio-teknis.

(3) Pendekatan Sistematik
Model pengelolaan yang paling banyak digunakan adalah bentuk teori sistem. Ciri khas pendekatan ini adalah pengakuan adanya bagian-bagian suatu sistem yang terkait erat pada keseluruhan. Hubungan timbal balik itu mengisyaratkan detail bagian yang cukup kompleks dan proses interaksi secara keseluruhan dalam sebuah organisasi. Implikasi lain, batas-batas antar bagian harus diketahui dengan tegas dalam mengidentifikasi komponen-komponen lembaga sekolah. Secara internal model teori sistem, mengadopsi penanganan lembaga formal pada umumnya untuk menggerakan roda organisasi. Akan tetapi pendekatan ini juga memperhatikan sistem sosial yang bekerja di luar sekolah. Tiap sekolah berusaha pula menampung tuntutan-tuntutan dari para orang tua siswa, industri setempat, pendapat profesional dan kebijakan pendidikan.

(4) Pendekatan Individu
Baik pendekatan manajemen maupun pendekatan sistem cenderung “membendakan” organisasi. Organisasi dipandang seakan-akan seperti makhluk besar yang mengatasi dan mengecilkan peran anggota-anggotanya (terutama para murid). Sebagai antitesisnya, maka pendekatan individual mengakomodasi nilai-nilai kemanusiaan dalam organisasi[2]. Akan tetapi pada perkembangannya pendekatan individual memiliki dua kelompok pandangan yakni:

     a) Teori Pasif
Pandangan yang menekankan pengamatan input pendidikan secara kolektif. Dimana sudut terpenting yang harus diperhatikan oleh sekolah adalah proses kematangan pribadi para siswa yang harus difasilitasi, diakomodasi kebutuhannya dan dibimbing menuju kedewasaan. Oleh karena itu, proporsi organisasi sekolah yang cenderung mekanistis harus dipola menjadi fleksibel agar mudah para anggotanya bisa berekspresi dengan optimal (Robinson, 1981: 252)
    b) Teori Aktif
Kontruksi pendekatan yang mengutamakana kemampuan aktif para siswa untuk menginterpretasikan makna-makna normatif dan tindakan-tindakan yang diharapkan berdasarkan iklim kesadaran mereka. Menurut Silverman (1970) proses sosialisasi disekolah bukanlah imperatif-imperatif moral yang memaksa akan tetapi justru sekolah menjadi pembantu para siswa dalam mendukumentasikan dan menetapkan makna-makna kehidupan yang didapat oleh mereka sendiri. Penedakatan ini sangat kental dengan aliran feomenologis dalam sosiologi. Oleh karena itu teori aktif bermaksud menekankan makna-makna tafsiran budaya yang didapat oleh individu-individu di dalam mempersepsikan fungsi sekolah bagi mereka bagi mereka (Robinson, 1981:254). Dari sini analisis yang bisa disajikan untuk mengamati keberadaan sekolah sebagai lembaga formal dalam aktivitas pendidikannya terbagi menjadi dua lahan persoalan yakni:

·          Penafsiran multi-konsep tentang tujuan organisasi beserta alokasi peran yang sinergis.
Sudah menjadi konsekuensi bagi setiap organisasi untuk menetapkan tujuan lembaga. Berbeda dengan organisasi pada umumnya, sekolah memiliki ciri khas yang agak unik, khususnya dari objek yang menjadi tujuannya. Dengan menetapkan posisi peran kelembagaan yang bertugas untuk membekali peserta didik seperangkat pengetahuan dan keterampilan maka sekolah telah mengumandangkan jenis tujuan yang bersifat abstrak. Hal ini tentu saja berbeda dengan lembaga lain yang jelas-jelas memiliki objek tujuan konkrit. Contohnya lembaga perusahaan, tentunya bagi siapa saja akan jelas memahami arti “mencari keuntungan maksimal” bagi perusahaan. Baik itu manajer pemasaran, direktur pabrik, buruh angkutan, sopir, sampai tenaga administrasi akan jelas mengartikan definisi tujuan tersebut. Sementara sekolah memiliki tujuan yang bersifat multi-penafsiran dan agak kabur.

Selain itu, dimensi abstrak yang menjadi titik tolak penafsiran para praktisi sekolah dapat memunculkan hambatan besar untuk menyatukan pemahaman makna tujuan pendidikan antar posisi. Berdasarkan struktur organisasi yang terbentuk, guru bertugas sebagai pelaksana pengajaran kepada siswa, supervisor berfungsi membina para guru dan tugas formal administratur sekolah ialah untuk mengkoordinasikan dan memadukan berbagai ragam aktivitas dalam lingkungan sekolah. Masing-masing pemegang posisi mempunyai hak dan kewajiban tertentu dalam hubungan dengan posisi lain. Sudah tentu kompleksitas peranan menimbulkan nilai sosial yang berbeda-beda dan apabila ditarik dalam suatu prospek tujuan maka akan melibatkan bermacam-macam penafsiran.

·          Kompleks permasalahan disekitar orientasi lintas posisi dalam koridor efesiensi dan efektivitas.
Kompleks pertentangan tersebut merupakan deriviasi dari perangkat-perangkat manusia yang emiliki peran-peran spesifik di lembaga sekolah. Banyak buku teks yang mengemukakan tentang peranan guru dan adminsitratur pendidikan seolah-olah harmonis dan serba sinergis. Padahal kenyataan membuktikan, salah satu faktor yang memberatkan kerja organisasi adalah gejala kesalahpahaman untuk memahami kawan sekerja berkenaan dengan hak dan kewajiban yang berbeda sesuai dengan status pekerjaannya. Kecenderungan yang terjadi, hampir semua tanggung jawab dan tugas sekolah yang berhubungan dengan siswa selalu dilimpahkan kepada seorang guru. Sedangkan pemberitaan fungsi-fungsi peran yang berbeda baik dari aspek bimbingan konseling, pelayanan birokrasi dan keuangan, serta peran penegak ketertiban dan kedisplinan tidak pernah tersiar secara utuh kepada para siswa. Tentu saja dalam hal ini sumbangsih teori sosiologi cukup strategis guna memberikan gambaran komprehensif tentang gurita konflik yang terbentuk di lingkungan sekolah dalam kaitan pertentangan antar peran.

B.       Kontribusi Sosiologi Terhadap Kegiatan Kelas sebagai Suatu Sistem Sosial
Suatu analisis tentang struktur kompetisi beserta pengaruhnya terhadap prestasi belajar di sekolah menengah, secara nyata mempunyai implikasi untuk mengisolasikan kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi hasil belajar suatu kelas.
Gordon dan Bpookovor ahli dari Amerika menyarankan pentingnya tinjauan sosiologi di dalam mengkaji struktur dan fungsi ruangan kelas sebagai suau sistem sosial. Dewasa ini penelaahan sosiologis dan sosio-psikologis mengenai ruangan kelas sebagai suatu sistem, sudah tak diragukan lagi nilai guna dan kontribusinya. Kontribusi empiris utama dari para sosiolog selama ini, yaitu di dalam menelaah struktur sosiometrik di kelas, dan memilihkan sumber-sumber tekanan dan ketegangan yang dihadapi guru-guru di kelas. Telaah sosiometrik mengungkapkan bahwa ruangan kelas, di dalamnya terdapat anak-anak “idiola” dan “penyendiri”, mengenai para guru, hasil penelitian menunjukkan, bahwa kerapkali para guru tidak mengetahui hubungan-hubungan antar pribadi di kalangan murid-muridnya di kelas.
Mereka tidak menunjukkan kepekaan yang tinggi mengenai bagaimana sesungguhnya para muridnya mereaksi satu sama lain, mereka sering kali membiarkan bias pribadinya dalam menghadapi para siswanya ketimbang menggunakan asesmen yang tepat melalui sosiometri.
Hal lain yang menyebabkan ketegangan kejiwaan para guru pengajar di kelas salah satunya karena benturan antara struktur otoritas sekolah dengan status profesional guru-guru itu sendiri. Kepala sekolah sebagai pemegang otoritas di sekolah sudah tentu perlu mengawasi, mengkoordinasikan, dan memadukan semua kegiatan yang berlangsung di sekolah, termasuk juga terhadap sajian pelajaran yang diberikan guru (sesuai dengan kurikulum dan batasan bahan untuk satu semester/tahun). Untuk itu para guru harus bekerja dengan bertanggung jawab (sebagai hamba kurikulum) dan jika tidak maka kepala sekolah bisa menindak guru dengan memberikan sanksi. Hal seperti ini sebenarnya bertentangan dengan tugas seorang guru sebagai tenaga profesional yang memiliki otonomi untuk mengembangakan aktivitasnya dalam proses pembelajaran di dalam kelas.
Otoritas kepala sekolah menimbulkan kekecewaan bagi guru dan bisa mengacaukan pengajaran dikelas. Sehingga menimbulkan adanya jarak sosial antara guru dan kepala sekolah. Penyebab ketegangan lainnya tumbuh dari perbedaan norma antara yang dianut guru dengan norma yang dianut siswa dalam hubungannya dengan perilaku siswa. Para guru mengharapkan para murid berprestasi sebaik mungkin sesuai potensinya. Sementara itu para siswa tak seberapa konsentrasi dengan harapan gurunya[3]. Mereka lebih berorientasi pada struktur informal dan nilai-nilai dikalangan mereka sendiri. Mereka memiliki sifat asli yang dibawanya dari lingkungannya sendiri.
Hal ini mempunyai pengaruh besar terhadap penampilan mereka di sekolah. Jika tiak ada kesesuaian dengan nilai-nilai yang diharapkan guru, maka guru akan bisa tersiksa di dalam proses transaksi pengajarannya dengan para siswa.
Kontribusi lainnya adalah mengenai perilaku siswa yang suka menyendiri. Kekuatan kelompok teman sekelasnya mempunyai pengaruh besar terhadap anak-anak yang terisolasi. Hambatan utama untuk menyembuhkan anak penyendiri bukan terletak pada diri anak itu sendiri, tetapi terletak pada konteks kelas itu sendiri. Selama ini para guru dan bimbingan konseling berasumsi bahwa bimbingan individual adalah satu-satunya cara penyembuhan. Kita harus menyadarkan para guru dan pembimbing bahwa melalui perubahan iklim kelompok/kelas juga suatu alternatif lain yang tak kalah pentingnya dibanding cara individual. Untuk itu dituntut untuk mengeksplorasi bagaimana adanya kehidupan kelas sebagai suatu sistem sosial. Analisis sosiologi juga mengungkapkan ada hubungan yang erat antara tingkah laku dan sikap seseorang dengan latar belakang kelompok atau aspirasi yang digandrunginya. Anak-anak sekolah pada umumnya cenderung untuk membentuk sebuah kelompok atau “GANK”. Kelompok-kelompok tersebut merupakan tempat berlabuh yang harus diperhitungkan dalam upaya pembinaan tingkah laku siswa. Konsekuensi pentingnya adalah agar pengajar bisa efektif dalam mendidik siswanya maka perlu adanya usaha membendung kekuatan-kekuatan kelompok yang bisa mengacaukan arah pembinaan anak didiknya, dan berupaya mengubah nilai-nilai atau norma-norma kurang sehat di kalangan klik-klik siswa itu sendiri.

C.       Kontribusi Sosiologi Terhadap Lingkungan Eksternal Sekolah
Sekolah sebagai suatu sistem tidak berdiri sendiri dalam dunia hampa. Ia berada dan berfungsi, sebagiannya bergantung pada lingkungan eksternalnya. Sudut pandang sosiologi seperti itu mempunyai banyak imlikasi dalam analisis sitem persekolahan.
Kontribusi pertama ialah, dengan adanya perubahan-perubahan demografis di dalam sistem sosial yang lebih besar (masyarakat), secara materiil akan mempengaruhi komposisi kesiswaan pada suatu sistem sekolah dan hal itu menyebabkan sering kali ada modifikasi kurikulum. Jumlah urbanisasi yang besar menuntut mereka membutuhkan persekolahan. Fenomena di satu pihak menyebabkan sekolah-sekolah di desa kekurangan murid dan sebaliknya sekolah di kota tidak muat menampung banyaknya siswa yang mau masuk sekolah. Hal tersebut mengungkapkan betapa pentingnya pendekatan tersendiri dalam perencanaan sekolah baik di desa atau di kota yang jarang diperhatikan dunia pendidikan.
Kontribusi kedua adalah terkait struktur kelas sosial di masyarakat. Dari hasil penelitian, menyatakan bahwa kebanyakan aspek-aspek dalam penunaian fungsi persekolahan diengaruhi oleh fenomena kelas sosial. Pelaksanaan penilaian beserta kriteria yang digunakan dalam eveluasi hasil belajar siswa tampaknya ada hubungan dengn posisi kelas sosial siswa dan guru. Selain itu mobilitas aspirasi parasiswa, angka putus sekolah, partisipasi siswa dalam kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler, tingkah laku berpacaran siswa, dan pola persahabatan dikalangan siswa, tampaknya jua dipengaruhi oleh karakter sosial-ekonomi dari keluarga/orang tua siswa.
Kontribusi yang ketiga adalah stuktur kekuasaan di masyarakat. Pengelolaan program pendidikan di sekolah-sekolah membutuhkan topangan dana yang tidak sedikit, dan hal itu sedikit banyak mempengaruhi mutu program dan hasil pendidikan. Seberapa banyak subsisi ke dunia pendidikan, baik dari pemerintah lokal atau nasional, kenyataannya bergantung pada para pengambil kebijakan dilingkungan struktur kekuasaan yang ada. Sehingga tidak heran jika para administratur pendidikan juga menunjukan minatnya untuk menelaah. Struktur kekuasaan yang berlangsung di masyarakat, dan untuk itu lazimnya menyertakan ahli-ahli sosiologi.
Kontribusi keempat sosiologi terhadap lingkungan eksternal sekolah adalah penelitian rantaian penghubung antara sekolah dengan masyarakat. Keberadaan badan pertimbangan sekolah biasanya diasumsikan dengan tidak adanya proporsional asal strata para anggota badan pertimbangan sekolah (strata atas terhadap strata ekonomis) mengakibatkan adanya bias konservatif dalam pertimbangan-pertimbangannya. Hasil penelitian menunjukkan pengaruh tingkah laku para anggota badan pertimbangan dan memotivasinya untuk menduduki jabatan tersebut terhadap penampilan dan kepuasan kerja para penilik kepala. Faktor lain seperti agama, pekerjaan, dan penghasilan terhadap tingkah laku para anggota. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa serba sulit bagi perkembangan sekolah, meskipun seringkali diabaikan, dengan adanya variabel tingkah laku kelompok kecil orang-orang awam dalam badan pertimabangan sekolah. Hal ini menyebabkan adanya upaya untuk meningkatkan mutu anggota badan pertimbangan sekolah.
Kontribusi yang kelima yaitu bertolak dari telaahan terhdap konflik antara peranan dimana para tenaga kependidikan dihadapkan pada benturan kepentingan dari posisi yang dipegangnya dalam sistem persekolahan dengan posisinya di dalam sistem sosial lain. Hasil penemuan-penemuan diatas menyokong suatu prosisi bahwa konflik antar peranan di antara posisi di sistem persekolahan dengan lingkungan eksternal, merupakan sumber potensial utama lahirnya ketegangan di kalangan praktisi pendidikan, termasuk juga bagi para guru. Dengan tinjauan dan analisis sosiologis, para praktisi pendidikan bisa secara lebih realistis dan peka mengkaji kekuatan-kekuatan majemuk yang ada dan berlangsung dalam konteks penyelenggaraan pendidikan. Dengan sokongan penglihatan dan konsep-konsep sosiologis para praktisi pendidikan bisa lebih jeli memperhitungkan faktor-faktor organisasi, budaya, dan personal di lingkungan kerjanya masing-masing.

[1] Robinson, Philip. 1981. Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan. Jakarta: CV. Rajawali.hal:18
[2] Faisal, Sanapiah. 1985. Sosiologi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.hal:25

[3] Faisal, Sanapiah. 1985. Sosiologi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.hal:30
Diposkan 27th March oleh ahmad muhajirin
Label: kontribusi sosiologi dalam pendidikan
KONTRIBUSI SOSIOLOGI DALAM PENDIDIKAN

    Mar
    27
    kontribusi sosiologi dalam pendidikan


    KONTRIBUSI SOSIOLOGI DALAM PENDIDIKAN

    A.       Kontribusi Sosiologi Terhadap Sistem Sekolah Sebagai Suatu Organisasi

    Seiring dengan bergulirnya roda sejarah kehidupan, maka prestasi pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh manusia menjadi sedemikian kompleks, sehingga pada fase inilah konsep pengetahuan dan kemampuan-kemampuan gemilangnya telah menjadi penentu kehidupan di masa yang akan datang. Beberapa faktor telah melatarbelakangi terbentuknya lembaga-lembaga tertentu untuk mengelola alokasi pemenuhan kebutuhan diantaranya:
    1)   Pertumbuhan jumlah populasi manusia yang mempengaruhi tingkat penguasaan dan ketersediaan sumber daya alam.
    2)   Kompleksnya pranata kebudayaan dan mekanisme pengetahuan beserta teknologi terapan, dan
    3)   Implikasi tingkat akal budi dan mentalitas manusia yang kian rasional.

    Menurut kami, terbentuknya lembaga pendidikan merupakan konsekuensi logis dari taraf perkembangan masyarakat yang sudah kompleks. Sehingga untuk mengorganissasikan perangkat-perangkat pengetahuan dan keterampilan tidak memungkinkan ditangani secara langsung oleh masing-masing keluarga.
    Walaupun wujudnya berbeda-beda dalam tiap-tiap negara, keberadaan sekolaah merupakan salah satu indikasi terwujudnya masyarakat modern. Dalam hal ini para sosiolog telah melakukan ikhtiar ilmiah untuk menentukan taraf evolusi perkembangan masyarakat manusia.

1 komentar: