MAKALAH STUDI MASYARAKAT INDONESIA
“PELEPASAN TIMOR TIMUR PADA
MASA PEMERINTAHAN B.J HABIBIE”
Penyusun (Kelompok 2) :
1.
Catur Wijayanti (3401412072)
2.
Siti Nur Khomariyah
3.
Sri Muryanti (3401412079)
4.
Randy
Desta Bramantyo (3401412080)
5.
Vici
Khairunissa (3401412081)
6.
Ristiyanti
Wahyu (3401412085)
7.
Anisa Yuni.M (3401412090)
8.
Dwita Ratih.N (3401412119)
9.
Siti Mutmainah
10. Cholifatul.B (3401412184)
Rombel 02
PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998 sebagai
salah satu presiden terlama di dunia ketika ditetapkan oleh MPR untuk masa
jabatan yang ke -7 pada tanggal 11 Maret 1998.
Tetapi setelah dua bulan jabatan ke-7 Soeharto rezim orde baru runtuh.
Soeharto yang selama 32 tahun memanipulasi eksistensi DPR dan MPR untuk
mengkokohkan kekuasaaanya akhirnya dilengserkan oleh lembaga yang sama pula ,
lewat pernyataan pers tanggal 18 Mei 1998 oleh ketua DPR Harmoko yang
didampingi Ismai Hasan Meutareum , Fatimah Achmad dan utusan daerah di depan
wartawan dan mahasiswa menyampaikan pernyataan bahwa “ Demi kemakmuran
persatuan dan kesatuan bangsa pimpinan dewan baik ketua maupun wakil-wakilnya
mengharapkan agar presiden secara arif dan bijaksana mengundurkan diri dari
jabatannya ”.
Usaha terakhir Soeharto mempengaruhi rakyat menyampaikan pernyataan
dihadapan pers pada tanggal 19 Mei 1998 bahwa selaku mendataris MPR presiden
akan mereshuffle kabinet pembangunan VII dengan membentuk komite reformasi ,
untuk lebih meyakinkan rakyat bahwa tugas komite ini segera menyelesaikan : UU
pemilu , UU kepartaian , UU susunan dan kedudukan DPR MPR dan DPRD ,UU anti
monopoli , UU anti korupsi dan hal lainnya yang sesuai dengan tuntutan rakyat.
Akan tetapi Soeharto terpojok karena 14 menteri tidak bersedia untuk sepakat
dalam komite reformasi tersebut.
Penolakan ini melemahkan posisi Soeharto sebagai presiden karena dukungan
untuk membentuk komite reformasi gagal ditambah lagi banyak desakan yang
menganjurkan presiden untuk mundur dan berhenti. Pada pagi harinya 21 Mei 1998
pukul 09.05 yang dihadiri Menhankam , Mensesneg , Menteri Penerangan , Menteri
Kehakiman dan Wapres B.J. Habibie beserta pimpinan Mahkamah Agung , ketua DPR ,
Sekjen DPR dihadapan wartawan dalam dan luar negeri presiden Soeharto
menyampaikan pengunduran dirinya. Setelahnya wakil presiden B.J. Habibie
langsung dilantik sebgai presiden menggantikan Soeharto dan diangkat sumpahnya
menjadi presiden RI ke-3 dihadapan pimpinan MA. Peristiwa ini disambut baik
oleh masyarakat terutama para mahasiswa yang berada di gedung MPR maupun DPR
dan rezim kekuasaan orde baru Soeharto resmi diruntuhkan dan era reformasi
dimulai di bahwah pemerintahan B.J. Habibie.
Gerakan reformasi dilakukan sebagai bentuk ungkapan kekecewaan yang
dirasakan oleh rakyat Indonesia dan dilakukan pada saat terjadi krisis
multidimensi di Indonesia. Dengan momentum reformasi itu persoalan status Timor
Timur yang sudah ada pada masa pemerintahan Soeharto menarik perhatian PBB dan
masyarakat Internasional diharapkan memperoleh kejelasan. Tetapi pada akhirnya
masalah status Timor Timur akhirnya lepas dari wilayah NKRI.
B.
Rumusan
Masalah
Masalah yang dapat dirumuskan
dari latar belakang diatas adalah :
1.
Peristiwa-peristiwa
apa sajakah yang mendorong Timor Timur lepas dari wilayah NKRI ?
2.
Faktor
apa saja yang menyebabkan terjadinya pelepasan wilayah Timor Timur ?
3.
Bagaimana
upaya pemerintah Indonesia untuk mempertahankan wilayah Timor Timur ?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan dari penulisan
makalah ini adalah :
1.
Untuk
mengetahui peristiwa-peristiwa yang mendorong Timor Timur lepas dari wilayah
NKRI.
2.
Untuk
mengetahui apa penyebab terjadinya pelepasan wilayah Timor Timur.
3.
Untuk
mengetahui upaya pemerintah Indonesia mempertahankan wilayah Timor Timur.
BAB II
PEMBAHASAN
Peristiwa-peristiwa sekitar integrasi Timor Timur dengan Indonesia pada
tahun 1976 juga ikut memegang peranan dalam hubungan Australia-Indonesia.
Sesudah Portugis meninggalkan bekas daerah jajahannya tersebut di tahun 1975,
Angkatan bersenjata Indonesia memasuki Timor Timur pada bulan Desember 1975 dan
kawasan ini menjadi satu dengan Republik Indonesia di tahun 1976. Hal ini
menyebabkan perdebatan di Australia. Di samping itu, kematian lima wartawan
Australia di Timor Timur di tahun 1975 telah menjadi perhatian masyarakat
Australia dan media. Namun pada akhirnya Australia mengakui kedaulatan
Indonesia atas Timor Timur secara de jure tahun 1979. Namun dinamika politik
dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan jatuhnya
Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Pada tanggal 30 Agustus 1999, melalui
jajak pendapat, rakyat Timor Timur memilih merdeka (78.5%). Pengumuman hasil
pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur
pro-integrasi. Australia kemudian diminta oleh PBB untuk memimpin kekuatan
internasional di Timor Timur atau
International Force in East Timor (disingkat INTERFET) dalam menjalankan
tugasnya untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Pada
tanggal 20 Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut keputusan
penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.
1. Peristiwa-peristiwa yang melatar belakangi lepasnya Timor Timur.
1. Integrasi
Timor Timur 1976
Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi
Bunga di Portugal dan Gubernur terakhir Portugal di Timor Leste, Lemos Pires,
tidak mendapatkan jawaban dari Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan
bala bantuan ke Timor Leste yang sedang terjadi perang saudara, maka Lemos
Pires memerintahkan untuk menarik tentara Portugis yang sedang bertahan di
Timor Leste untuk mengevakuasi ke Pulau Kambing atau dikenal dengan Pulau
Atauro. Setelah itu FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan
Timor Leste sebagai Republik Demokratik
Timor Leste pada tanggal 28 November 1975. Menurut suatu laporan resmi dari
PBB, selama berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi kevakuman pemerintahan di
Timor Leste antara bulan September, Oktober dan November, Fretilin melakukan
pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil (sebagian besarnya wanita
dan anak2 karena para suami mereka adalah pendukung faksi integrasi dengan
Indonesia). Berdasarkan itulah, kelompok pro-integrasi kemudian mendeklarasikan
integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian meminta dukungan
Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN yang
berhaluan Komunis.
Tiga Kuburan Masal sebagai bukti pembantaian FRETILIN terhadap pendukung
integrasi terdapat di Kabupaten Aileu (bagian tengah Timor Leste),
masing-masing terletak di daerah Saboria, Manutane dan Aisirimoun. Ketika
pasukan Indonesia mendarat di Timor Leste pada tanggal 7 Desember 1975,
FRETILIN memaksa ribuan rakyat untuk mengungsi ke daerah pegunungan untuk
dijadikan tameng hidup atau perisai hidup (human shields) untuk melawan tentara
Indonesia. Lebih dari 200.000 orang dari penduduk ini kemudian mati di hutan
karena penyakit dan kelaparan. Selain terjadinya korban penduduk sipil di hutan,
terjadi juga pembantaian oleh kelompok radikal FRETILIN di hutan terhadap
kelompok yang lebih moderat. Sehingga banyak juga tokoh-tokoh FRETILIN yang
dibunuh oleh sesama FRETILIN selama di Hutan. Semua cerita ini dikisahkan
kembali oleh orang-orang seperti Francisco Xavier do Amaral, Presiden Pertama
Timor Leste yang mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste pada tahun 1975.
Seandainya Jenderal Wiranto (pada waktu itu Letnan) tidak menyelamatkan Xavier
di lubang tempat dia dipenjarakan oleh FRETILIN di hutan, maka mungkin Xavier
tidak bisa lagi jadi Ketua Partai ASDT di Timor Leste sekarang.
Selain Xavier, ada juga komandan sektor FRETILIN bernama Aquiles yang
dinyatakan hilang di hutan (kemungkinan besar dibunuh oleh kelompok radikal
FRETILIN). Istri komandan Aquilis sekarang ada di Baucau dan masih terus
menanyakan kepada para komandan FRETILIN lain yang memegang kendali di sektor
Timur pada waktu itu tentang keberakaan suaminya. Hal yang sama juga dilakukan
oleh kelompok pro-kemerdekaan terhadap tentara Indonesia tentang keberadaan
komandan Konis Santana dan Mauhudu yang dinyatakan hilang di tangan tentara
Indonesia. Selama perang saudara di Timor Leste dalam kurun waktu 3 bulan
(September-November 1975) dan selama pendudukan Indonesia selama 24 tahun (1975-1999),
lebih dari 200.000 orang dinyatakan meninggal (60.000 orang secara resmi mati
di tangan FRETILN menurut laporan resmi PBB). Selebihnya tidak diketahui apakah
semuanya mati kelaparan atau mati di tangan tentara Indonesia. Hasil CAVR
menyatakan 183.000 mati di tangan tentara Indonesia karena keracunan bahan
kimia (tidak dirinci bagaimana caranya), namun sejarah akan menentukan
kebenaran ini, karena keluarga yang sanak saudaranya meninggal di hutan tidak
bisa tinggal diam dan kebenaran akan terungkap apakah benar tentara Indonesia
yang membunuh sejumlah jiwa ini ataukah sebaliknya. Situasi aktual di Timor
Leste akhir-akhir ini adalah cerminan ketidak puasan rakyat bahwa rakyat tidak
bisa hidup hanya dari propaganda tapi dari roti dan air. Rakyat tidak bisa
hidup dari “makan batu” sebagaimana dipropagandakan FRETILIN selama kampanye
Jajak Pendapat tahun 1999 “Lebih baik makan batu tapi merdeka, dari pada makan
nasi tapi dengan todongan senjata”. Kenyataan membuktikan bahwa “batu tidak
bisa dimakan”, dan rakyat perlu makanan yang layak dimakan manusia.
2. Insiden
Santa Cruz 1992
Benedict Anderson dalam Nasionalisme, Asia Tenggara, dan Dunia (2002)
mengatakan, lubang hitam dalam sejarah Indonesia di pulau kecil sebelah utara
lepas pantai Australia itu cenderung ditutup-tutupi, termasuk jumlah penduduk
Timor Timur yang tewas akibat kelaparan, wabah, dan pertempuran 1977-1979.
Padahal, menurut Peter Carey (1995), jumlahnya melebihi
angkakematianpendudukKambojadibawahPolPot. Fakta
sejarah ini amat jarang diberitakan media Indonesia. Kalaupun ada, media yang
memberitakan niscaya akan menemui ajal. Majalah Jakarta-Jakarta, sebagai salah
satu media populer, misalnya, menjadi korban pemberitaan tentang Timor Timur
tahun 1992.
Namun, meski media dimatikan, cerita yang berkisah tentang Insiden Dili, 12
November 1991, masih terbaca sebagai cerpen. Pelajaran Sejarah (Seno Gumira
Ajidarma, Saksi Mata, Penerbit Bentang, 1994) yang menjadi fiksi dari peristiwa
Santa Cruz itu ditulis oleh wartawan dari media yang terkena “pembredelan”
pemerintah saat itu. Bagi sang wartawan, cerpen atau fiksi merupakan cara lain
untuk menyajikan berita atau fakta sejarah yang sengaja disembunyikan, bahkan
dihilangkan. Maka, sejarah bukan sekadar catatan penyebab kejadian pada masa
lalu, tetapi juga demi menyiapkan akibat selanjutnya pada masa kini.
Insiden Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz) adalah
penembakan pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz di ibu kota Dili pada 12
November 1991. Para pemrotes, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes
mereka terhadap pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka, Sebastião
Gomes, yang ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan sebelumnya. Para
mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan delegasi parlemen dari Portugal, yang
masih diakui oleh PBB secara legal sebagai penguasa administrasi Timor Timur.
Rencana ini dibatalkan setelah Jakarta keberatan karena hadirnya Jill Joleffe
sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang
dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.
Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan
nasib sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana
Gusmao. Pada saat prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai
menembak. Dari orang-orang yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382
terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang meninggal adalah seorang warga
Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis HAM
berbasis di Australia.
Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat; Amy Goodman
dan Allan Nairn; dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang diam-diam
membuat rekaman untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru kamera
berhasil menyelundupkan pita video tersebut ke Australia. Mereka memberikannya
kepada seorang wanita Belanda untuk menghindari penangkapan dan penyitaan oleh
pihak berwenang Australia, yang telah diinformasikan oleh pihak Indonesia dan
melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru kamera itu ketika mereka tiba
di Darwin. Video tersebut digunakan dalam dokumenter First Tuesday berjudul In
Cold Blood: The Massacre of East Timor, ditayangkan di ITV di Britania pada
Januari 1992.
Tayangan tersebut kemudian disiarkan ke seluruh dunia, hingga sangat
mempermalukan permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang keduanya
memiliki komunitas Timor Timur yang cukup besar, terjadi protes keras. Banyak
rakyat Portugal yang menyesali keputusan pemerintah mereka yang praktis telah
meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh siaran yang
melukiskan orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa Portugis.
Demikian pula, banyak orang Australia yang merasa malu karena dukungan
pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di Indonesia, dan apa
yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor Timur yang pernah
berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada Perang Dunia II.
Meskipun hal ini menyebabkan pemerintah Portugal meningkatkan kampanye diplomatik
mereka, bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam kata-kata menteri luar
negeri Gareth Evans, merupakan ‘suatu penyimpangan’. Pembantaian ini (yang
secara halus disebut Insiden Dili oleh pemerintah Indonesia) disamakan dengan
Pembantaian Sharpeville di Afrika Selatan pada 1960, yang menyebabkan
penembakan mati sejumlah demonstran yang tidak bersenjata, dan yang menyebabkan
rezim apartheid mendapatkan kutukan internasional.
2.
Faktor penyebab lepasnya
indonesia dari timor-timur
a. Tidak
terpenuhinya hak-hak dasar rakyat seperti kesejahteraan, keadilan, keamanan, pendidikan, dan
kesehatan. Belum lagi minimnya sarana pendidikan, kesehatan, maupun transportasi di sana. Perkara
inilah yang membuat saudara-saudara
kita di timor timur tertarik dengan ide kemerdekaan.
b. Lemahnya kesadaran politik masyarakat. Ide-ide disintegrasi yang dimainkan oleh asing gampang diterima masyarakat, padahal disintegrasi merupakan alat permainan negara-negara kapitalis penjajah. Yang diuntungkan dari disintegrasi adalah negara-negara penjajah. Karena itu, meminta bantuan kepada negara-negara kapitalis penjajah sesungguhnya bukanlah solusi, tetapi justru akan menimbulkan penderitaan baru.
b. Lemahnya kesadaran politik masyarakat. Ide-ide disintegrasi yang dimainkan oleh asing gampang diterima masyarakat, padahal disintegrasi merupakan alat permainan negara-negara kapitalis penjajah. Yang diuntungkan dari disintegrasi adalah negara-negara penjajah. Karena itu, meminta bantuan kepada negara-negara kapitalis penjajah sesungguhnya bukanlah solusi, tetapi justru akan menimbulkan penderitaan baru.
3. Upaya Pemerintah dalam rangka mempertahankan Timor Timur
1.
Otonomi luas yang diberikan pada timor timur
2.
Kebebasan berupa jejak pendapat bagi masyarakat timor timur untuk
memilih tetap menjadi bagian indonesia
ataukah memisahkan diri dan merdeka
3.
Kebijakan presiden B.J. Habibiedengan memberikan opsi referendum untuk
mencapai solusi final atas masalah timor timur
Munculnya tekanan-tekanan dari masyarakat internasional menanggapi
kasus-kasus yang terjadi di timor timur itu memaksa Indonesia untuk
mengeluarkan kebijakan guna mengakomodasi aspirasi masyarakat Timor Timur.
Tekanan ini juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk membahas masalah ini ke
tingkat internasional. Akhirnya, pada Juni 1998, Pemerintah Indonesia
memutuskan untuk memberikan status khusus berupa otonomi luas kepada Timor
Timur. Usulan Indonesia itu disampaikan kepada Sekjen PBB. Sebagai tindak
lanjutnya, PBB pun mengadakan pembicaraan segitiga antara Indonesia, Portugal,
dan PBB. Selama pembicaraan ini, masih terjadi kerusuhan antara pihak pro
kemerdekaan dan pro integrasi di Timor Timur. Kerusuhan ini semakin manambah
kecaman dari dari masyarakat internasional, khusunya dari negara-negara Barat,
yang merupakan sasaran utama speech
act dalam usaha sekuritisasi kasus Timor Timur.
Berangkat dari pembicaraan tiga pihak serta kecaman yang semakin keras dari
dunia internasional, Indonesia memutuskan untuk melaksanakan jajak pendapat
rakyat Timor Timur dilakukan secara langsung. Menanggapi keputusan Indonesia
tersebut, pihak-pihak yang berada dalam pembicaraan segitiga di atas
menyepakati Persetujuan New York yang mencakup masalah teknis dan substansi
jajak pendapat. Jajak pendapat pun berakhir dengan kemenangan di pihak pro
kemerdekaan Timor Timur. Dengan kemenangannya ini, Timor Timur meraih
kedaulatan sebagai sebuah negara.Kedaulatan negara merupakan satu hal yang selama
ini dikejar oleh pihak Timor Timur. berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan
oleh Indonesia, yang dibuktikan oleh Peristiwa Santa Cruz menjadi batu loncatan
bagi usaha sekuritisasi perjuangan meraih kembali kedaulatan Timor Timur.
Kunci dari berhasilnya perjuangan meraih kemerdekaan Timor Timur adalah
dukungan internasional. Oleh karena itu sekuritisasi menjadi hal yang sangat
penting untuk dilakukan oleh Timor Timur. Berbagaispeech act telah dilakukan oleh securitizing actor untuk meraih dukungan internasional. Usaha
sekuritisasi ini mencapai keberhasilannya tidak hanya saat Timor Timur merdeka
dari Indonesia, namun juga saat sejumlah negara mulai mendukung perjuangan
kemerdekaan Timor Timur.
Pada HUT ke-10 The Habibie Center, mantan Presiden BJ Habibie menyatakan
Timor Leste tidak pernah masuk Proklamasi RI. Alasannya, karena yang
diproklamasikan adalah Hindia Belanda (Kompas, 9/11/2009). Pernyataan ini patut
pula kita salami karena terkait masa lalu Indonesia yang secara historis
banyak menyimpan anakronisme yang menyamarkan beragam fakta. Timor Leste adalah
contoh. Semula negeri itu dianggap berintegrasi ke NKRI sebagai Timor Timur.
Ternyata bekas koloni Portugis itu dianeksasi melalui semacam invasi militer
tahun 1975.
Dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis
dengan jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Di bulan Januari 1999,
diumumkan bahwa Indonesia akan menawarkan otonomi kepada Timor Timur. Jika
rakyat Timor Timur menolak tawaran ini, maka Indonesia akan menerima pemisahan
diri Timor Timur dari Republik Indonesia. Pada tanggal 5 Mei 1999, Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia dan Portugis menandatangani Perjanjian Tripartit
yang menyatakan bahwa PBB akan menyelenggarakan jajak pendapat di Timor-Timur.
Rakyat diminta memilih apakah Timor Timur tetap menjadi bagian dari Indonesia
ataukah Timor Timur menjadi negara merdeka. Habibie mengeluarkan pernyataan
pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia mengajukan
tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur.
Proposal ini, oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru.
Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal
dengan menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai
solusi final atas masalah Timor Timur.
Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat dari
surat yang dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan Desember
1998 kepada Habibie yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan
memberi jalan bagi referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa
surat tersebut hanya berisi dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan
nasib sendiri (right of
self-determination) bagi masyarakat Timor Timur. Namun, Australia
menyarankan bahwa hal tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan di
Kaledonia Baru dimana referendum baru dijalankan setelah dilaksanakannya
otonomi luas selama beberapa tahun lamanya. Karena itu, keputusan berpindah
dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan keputusan pemerintahan Habibie
sendiri.
Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian
memojokkan pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena
beberapa hal. Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional
untuk memberi opsi referendum di Timor Timur karena ia dianggap sebagai
presiden transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur merusakan
hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto, panglima
TNI pada masa itu. Di hari-hari jatuhnya Suharto dari kursi kepresidenannya,
Jenderal Wiranto dilaporkan bersedia mendukung Habibie dengan syarat Habibie
mengamankan posisinya sebagai Panglima TNI. Sementara itu, Habibie meminta
Wiranto mendukung pencalonan Akbar Tanjung sebagai Ketua Golkar pada bulan Juli
1998. Hal ini cukup sulit bagi Wiranto karena calon lain dalam Kongres Partai
Golkar adalah Edi Sudrajat yang didukung oleh Try Sutrisno, kesemuanya adalah
mantan senior Jenderal Wiranto. Namun Wiranto tidak memiliki pilihan lain dan
menginstruksikan semua pimpinan TNI di daerah untuk mendorong semua ketua
Golkar di daerah untuk memilih Akbar Tanjung Habibie
kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun domestik. Di
mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam
pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie menawarkan
refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada
tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum.
Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya sentimen
nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin
Australia masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk
memenangi pemilihan presiden pada bulan September 1999 hilang. Sebaliknya,
citra TNI sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali menguat. Padahal
sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro demokrasi
segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.
Tanggal 30 Agustus merupakan tanggal yang sangat sakral dalam dinamika
perpolitikan Negara yang seumur jagung ini. Pada hari itu diadakan jajak
pendapat di Timor Leste (pada saat itu masih bernama Timor Timur). Jajak
pendapat inilah yang nantinya berujung pada kemerdekaan (bekas) provinsiTimor
Timur ini. Pada akhirnya, hasil jajak pendapat tersebutlah yang dapat menjawab
nasib rakyat Timor Leste selanjutnya. Sebagian besar rakyat Timor Timur lebih
memilih untuk merdeka (78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti
dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa pada akhirnya, pasukan
Australia lah yang menjadi pahlawan dalam kasus ini. Australia telah
memperhitungkan semua ini secara cermat dan tepat. Australia memainkan peranan
pokok dalam memobilisasi tanggapan internasional terhadap krisis kemanusiaan
yang membayang nyata. Pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk
ke Timor Timur. Jakarta menyetujui keterlibatan angkatan internasional
pemilihara keamanan di kawasan ini. Australia diminta oleh PBB untuk memimpin
angkatan tersebut, dan menerima tugas ini. Kekuatan internasional di Timor
Timur atau International Force in East
Timor (disingkat INTERFET) telah berhasil dikirim ke Timor Timur dan
menjalankan tugasnya untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan
tersebut. Pada tanggal 20 Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.
Terkait hal ini, SBY pernah menyatakan bahwa hasil jajak pendapat di Timor
Timur pada 1999, merupakan buah dari reformasi di Indonesia. Sebagaimana negara
Indonesia mengakui Timor Leste yang merdeka, MPR saat itu pada 1999 mengakui
hasil jajak pendapat tersebut.
Sejak
awal 2000, kedua pemerintahan pemerintahan mencari pemecahan masa lalu, yang
terjadi menjelang, selama, dan segera setelah jajak pendapat. Pertama melalui
pendekatan hukum dan cara kedua melalui pendekatan kebenaran dan persahabatan
yang tidak berujung pada peradilan. Kedua pemerintahan sepakat untuk menempuh
yang kedua melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Juga harus diketahui,
adalah presiden, waktu itu Menteri Luar Negeri Horta dan Xanana, yang
menganjurkan kepada pemerintah Indonesia memilih kata persahabatan karena rekonsiliasi
sesungguhnya telah terjadi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam pelaksanaannya, politik luar negeri Indonesia dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal yang berkembang sesuai dengan dinamika yang terjadi.
Dinamika kondisi internal di Indonesia yang berpengaruh besar terhadap arah
pelaksanaan politik luar negeri Indonesia antara lain ditandai dengan krisis
ekonomi yang parah, di mana krisis ini dengan segera menjadi pemicu berbagai
aksi unjuk rasa masyarakat, kerusuhan sosial, krisis kepercayaan, serta
maraknya gerakan-gerakan separatis di Indonesia yang berujung pada proses
disintegrasi seperti yang terjadi pada kasus Timor Timur. Adanya perubahan
dinamika kondisi internal tersebut telah memaksa pemerintah untuk menyesuaikan
politik luar negerinya sesuai dengan tuntutan zaman bagi kepentingan nasional.
Situasi sosial politik dan keamanan serta masalah ekonomi di tanah air juga
menjadi pertimbangan utama dalam pelaksanaan politik luar negeri. Gerakan
separatis yang mengarah pada pemisahan diri atau disintegrasi dari Indonesia
harus dicermati agar pintu masuknya penjajah dalam rangka mengendalikan
Indonesia dapat ditutup rapat-rapat. Dan jika dilihat pada kasus Timor Timur,
terdapat upaya internasionalisasi konflik domestik yang pada akhirnya
mengokohkan intervensi Negara-Negara asing untuk memisahkan wilayah konflik
tersebut dari induknya, Indonesia. Sehingga di sini, politik luar negeri
Indonesia ditujukan untuk menjaga kekuatan Indonesia, persatuan bangsa, serta
stabilitas nasional.
DAFTAR PUSTAKA
·
Downer,
Alexander (Menteri Luar Negeri Australia). 2000. East Timor – looking back on 1999, Australian Journal of International Affairs, vol.54/1 , hal.5.
·
Richburg,
Keith. 1999. Seven days in May that
toppled a titan: back-room intrigue led to Suharto’s fall
·
Aspinall,
E., Van Klinken, G., Feith, H. (eds), The
last days of President Suharto(Monash University: Monash Asia
Institute, hal.70.
niece
BalasHapusniece
BalasHapus